Di Brunei Merokok Harus Sembunyi
Jumat, 23 Juli 2010 | 02:00 WIB
BANDAR SERI BEGAWAN, KOMPAS.com — Rokok bagi sebagian penyair Indonesia telah menjadi sahabat sejati, turut menemani ke mana pun sang tuan pergi. Juga saat penyair-penyair itu melancong ke negeri jiran untuk mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara IV di Bandar Seri Begawan, Brunei, tanggal 16 -19 Juli.
Namun, di Negeri Sultan Hassanal Bokiah itu, ternyata rokok menjadi barang yang amat dibatasi sehingga, jikalau para penyair hendak merokok, mereka harus sembunyi.
“Tolong kalau merokok sembunyi-sembunyi sebab, kalau tertangkap polisi, bisa kena denda,” kata salah seorang panitia PPN ke-IV Brunei, Dony (34), yang menjemput Antara dan sejumlah penyair asal Jawa Timur.
Negara Brunei, di bawah kepemimpinan Sultan Haji Hassanal Bolkiah, mulai mengeluarkan larangan merokok secara serius paling tidak sejak tiga tahun lalu.
Menurut Dony, juga sopir kendaraan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, Haji Rahim (52), perokok yang tertangkap untuk pertama kali dikenai denda 150 ringgit atau sekitar Rp 975.000.
Kalau perokok itu tertangkap lagi untuk kedua kalinya, ia dihukum denda 300 ringgit atau Rp 1,9 juta lebih, dan, jika tertangkap untuk ketiga kalinya, ia dikenakan denda 1.000 ringgit atau Rp 6,5 juta. Mendengar penjelasan itu, sejumlah penyair asal Indonesia pun ciut nyalinya.
Larangan merokok dengan sanksi denda itu cukup membawa dampak kepada sejumlah supermarket atau toko di wilayah setempat. Dengan diantar Haji Hasim, Antara berusaha mencari rokok di sejumlah supermarket yang biasa menjual rokok.
Di supermarket kelima, baru bisa ditemukan penjual rokok; kebanyakan rokok putih dan mild produk Indonesia dan luar negeri. Di sebuah mini market, penjual menempatkan rokok di balik lemari, tidak dijual secara terang-terangan.
Menurut Haji Rahim, penjual rokok di mini market tersebut, ia sebenarnya juga sudah menyalahi ketentuan yang dikeluarkan atas larangan merokok. Alasannya, lokasi mini market tersebut hanya berjarak tidak lebih dari 100 meter dari balai polisi dan sekolah.
“Menjual masih diperbolehkan, harus izin secara resmi,” ujarnya.
Haji Rahim mengaku, di sejumlah mini market yang kami kunjungi tersebut sekitar tiga bulan yang lalu sebenarnya masih menjual rokok.
“Kalau sekarang tidak menjual rokok lagi, saya juga baru tahu,” ucapnya dengan nada bersungguh-sungguh.
Meski bisa mendapatkan rokok, dalam kegiatan PPN IV cukup merepotkan para penyair asal Indonesia yang memiliki kebiasaan merokok. Seorang penyair asal Bojonegoro, Jawa Timur, Agus Sigro (35) dan Didik Wahyudi (32), menyatakan tetap nekad merokok.
“Di Brunei, merokok rasanya seperti sedang melakukan perbuatan jahat,” seloroh Agus Sigro sambil tersenyum.
Karena ada larangan itu, para penyair Indonesia terpaksa merokok dengan sembunyi-sembunyi, kecuali ketika berada di penginapan. Di tempat penginapan, mulai di Pusat Belia, Grand City Hotel, hingga di Hotel Galery, bisa merokok di dalam kamar.
Kegiatan PPN IV diikuti 132 penyair asal Indonesia, 2 penyair asal Thailand, 25 penyair asal Malaysia, dan sekitar 75 penyair setempat. Sebagian di antaranya memiliki kebiasaan merokok.
Di lokasi acara, di Radio Televisyen Brunei, para penyair Indonesia harus merokok keluar ruangan mencari tempat yang tersembunyi, seperti semak-semak. Itupun mereka tetap waspada, sesekali berjaga melihat kemungkinan ada polisi datang.
“Sebenarnya larangan merokok jaraknya harus lima meter dari bangunan atau tempat umum,” kata Dony menjelaskan.
Larangan merokok tersebut dampaknya mulai terlihat di sejumlah wilayah perkotaan di Bandar Seri Begawan. Hanya saja, larangan merokok tersebut belum terlalu berpengaruh di wilayah pedesaan, di antaranya di tempat wisata Jerudong, sekitar 20 kilometer dari Brunei; di kawasan wisata hutan Shahbandar juga di Jerudong, dan kawasan wisata di Kampung Air.
“Kalau di sini, larangan merokok belum terlalu kuat, entah nanti,” kata Mohammad Kasim, penjual ikan laut asal Kediri di Pasar Jerudong dengan tersenyum.
Di Brunei, sebagaimana diungkapkan Setiausaha Bersama PPN IV Mohd.Zefri Ariff, adanya larangan merokok di wilayah setempat tidak merugikan warga. Alasannya, daerah yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa dengan luas wilayah 5.567 kilometer persegi itu tidak memiliki petani tembakau atau industri rokok.
“Semua rokok di sini impor, juga beras yang kami datangkan dari Thailand,” kata Guru Besar Universitas Brunei Darussalam itu mengungkapkan.
Penulis: JY | Editor: jodhi | Sumber : ANT