Sepenggal Makna Syair Lir-Ilir

Lir-ilir… Lir-ilir…

Tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo..

Tak sengguh temanten anyar…

 

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri. Namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu ia telah lantunkan dan tidak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah faham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kahidupan kita ini sendiri. Alfabeta, alif, ba’, ta’ kebingungan sejarah kita dari hari ke hari. Sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidaksanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi. Menggeliatlah dari matimu tutur sang Sunan, siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu sungguh negeri ini adalah penggalan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya. Engkau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin engkau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini, bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun. Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan.

 

Cah angon… Cah angon…

Penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno..

Kanggo mbasuh dodot iro…

 

Kanjeng Sunan tidak memilih figur misalnya Pak Jendral.. Pak Jendral…, juga bukan intelektual-intelektual, ulama’-ulama’, seniman-seniman, sastrawan-sastrawan atau apapun, tetapi cah angon-cah angon. Beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwi, bukan penekno pelem kuwi, bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah yang lain, tetapi blimbing berkikir lima. Terserah apa tafsirmu mengenai lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu. Lunyu-lunyu penekno agar blimbing bisa kita capai bersama-sama. Dan yang harus memanjat adalah bocah angon, anak gembala. Tentu saja ia boleh seorang Doktor, boleh seorang Seniman, boleh seorang Kiai, boleh seorang Jendral atau siapapun, namun ia harus memiliki daya angon, daya menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama, memancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan atau diperebutkan. Dan air sari pati blimbing lima kikir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasional. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya, berdirilah engkau di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia, pakaian adalah pegangan nilai landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima.

 

Dodot iro… Dodot iro…

Kumitir bedah ing pinggir..

Dondomono, jlumetono.., kanggo sebo mengko sore..

Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane..

Yo sorak o sorak iyo…

 

Renungan Ilir-Ilir, Emha Ainun Nadjib.

Tinggalkan komentar